Puncak Suroloyo : Mitos Negeri Kahyangan, dan Negeri Di Atas Awan
Bagi
para penggemar cerita wayang, Puncak Suroloyo bukanlah tempat yang
asing. Kawasan tertinggi dari jajaran perbukitan Menoreh ini terletak di
perbatasan DIY dan Jawa Tengah, tepatnya di Dusun Keceme, Desa
Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, yang berjarak 48
km dari koya Yogyakarta.
Dari tempat ini akan terlihat empat gunung
besar di Pulau Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro
menyembul di antara kabut putih. Ketebalan kabut putih itu tampak
seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa hanya
sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang terletak di
dataran yang lebih tinggi. Dari balik kabut putih itu pula, stupa
puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan
lautan kabut.
Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi
(pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya
bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke
selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa. Dengan mitos, sejarah
beserta pemandangan alamnya, tentu tempat ini sangat tepat untuk
dikunjungi pada hari pertama di tahun baru kalender Jawa (1 Suro).
Puncak Suroloyo memiliki kaitan sejarah dengan Kerajaan Mataram Islam.
Dalam Kitab Cabolek yang ditulis Ngabehi Yasadipura pada sekitar abad
ke-18 menyebutkan, suatu hari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kala itu
masih bernama Mas Rangsang mendapat wangsit agar berjalan dari Keraton
Kotagede kearah barat. Petunjuk itupun diikuti hingga dia sampai di
puncak Suroloyo ini. Karena sudah menempuhjarak sekitar 40 km, Mas
Rangsang merasa lelah dan tertidur di tempat ini. Pada saat itulah,
Rangsang kembali menerima wangsit agar membangun tapa di tempat dia
berhenti. Ini dilakukan sebagai syarat agar dia bisa menjadi penguasa
yang adil dan bijaksana.
Tidak
hanya itu, Sebagai tempat tertinggi, Puncak Suroloyo menjadi tempat
Batara Guru yaitu pimpinan para dewa. Dan di tempat ini pula Ki Semar,
atau Ki Ismoyo, atau Bodronoyo berada mengasuh Petruk, Bagong, Gareng
dan memomong para ksatria Pandawa. Itulah sebabnya sebagian orang
menyebut Puncak Suroloyo sebagai “rumah Ki Semar”. Dan tak heran juga
jika hamper seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan Puncak Suroloyo
ini menjadikan Ki Semar sebagai symbol dan sekaligus pedoman hidup.
Mitos Puncak Suroloyo
Setidaknya ada 4 (empat) hal yang selalu menjadi pertanyaan sekaligus jawaban : ada apa dengan Puncak Suroloyo ? Keempat hal tersebut berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat lampau dan juga yang sekarang :
1. Dalam lakon
pewayangan yang sampai sekarang kita tonton, hampir semua nama
tempat yang disebutkan itu sampai sekarang masih ada dan dijadikan
nama tempat itu. Tempat-tempat itu adalah :
· Puncak Suroloyo adalah tempat Batara Guru
· Repat Kepanasan (Tegal Kepanasan) yaitu tempat rapatnya para dewa. Dan tempat itu memang ada sampai sekarang.
· Sariloyo, yaitu tempat para dewa menyimpulkan hasil rapat. Tempatnya tinggi kira-kira 200 meter dari repat kepanasan.
· Kaendran adalah tempat pertapaan para ksatria dalam cerita pewayangan.
· Pertapaan Mintorogo dalam cerita pewayangan, dan tempat itu sekarang juga masih ada.
· Sendang
Kawidodaren, yaitu tempat para ksatria mandi dan mensucikan diri
setelah melakukan pertapaan. Dan tempat itu juga masih ada sekarang.
2.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tempat-tempat di kawasan
Puncak Suroloyo ini telah menginspirasi para pencipta cerita-cerita
pewayangan pada ratusan abad lalu. Dan jika benar Kanjeng Sunan
Kali Jaga sebagai pencipta cerita-cerita wayang sebagai media
dakwah, berarti beliau telah mengenal atau kemungkinan pernah menetap di
tempat ini.
3. Di salah satu rumah sesepuh dusun Keceme ada tersimpan 2 (dua) pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu : Tombak Kyai Manggolo Murti dan Songsong Kyai Manggolo Dewo. Pertanyaannya adalah : mengapa
Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu masih hidup menitipkan
kedua pusaka itu di kawasan Puncak Suroloyo ? Mengapa tidak di
tempat lain. Apa makna tempat ini bagi Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dulu dan sampai hari ini ?
4. Pada
setiap tgl. 1 Suro pada kalender Jawa, ribuan orang datang
berkinjung ke kawasan Puncak Suroloyo ini untuk mengikuti upacara “suroan”.
Para pengunjung itu berasal dari berbagai wilayah di pulau Jawa
dan luar pulau Jawa. Dan tentunya juga banyak diantara mereka yang
datang itu berpengetahuan dan berpengalaman dan mungkin para pejabat,
guru, dosen, atau para intelektual. Pertanyaannya adalah : ada apa
dengan kawasan ini sehingga mereka berduyun-duyun datang dengan
menaiki perbukitan yang tentunya lumayan jauh juga..?
Dari
berbagai hal di atas, maka perlu kiranya digali lebih jauh tentang
keberadaan kawasan Puncak Suroloyo ini. Hal ini mengingat masih sedikit
sekali bahan bacaan yang berkenaan dengan hal ini. Dan lebih miris lagi
adalah ketika suatu hari penulis ke sekolah SD yang ada di wilayah ini
dan menanyakan buku-buku cerita tentang Suroloyo di perpustakaan sekolah
tersebut tidak ada. Dan banyak diantara murid Sd di situ yang tak
mengenal lagi riwayat dan cerita tentang Puncak Suroloyo ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar